Anak itu keluar sekolah sambil menangis. Seorang guru berusaha membujuknya, tapi tidak berhasil. Anak itu tetap menangis. Ia minta pulang.
Aku, yang saat itu sedang menunggu anakku, menoleh. Anak itu juga menoleh. Aku melambaikan tanganku, mengajaknya mendekat. Sambil menangis, ia berlari menghampiriku, naik ke atas pangkuanku dan memelukku. Erat. Erat sekali.
'Kenapa Aip menangis?' tanyaku.
'Aip ma-ha-u pu-hu-lang...' isaknya.
'Lho, kenapa? Kan teman-teman sedang di dalam, menari. Aip nggak mau ikut?' tanyaku lagi.
'Nggak ma-ha-u...'
'Ok. Jadi Aip mau di sini aja? Iya?'
'Aip ma-ha-u pu-hu-laaang...' tangisnya makin keras.
Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut sambil membujuknya agar tangisnya berhenti. Tak lama kemudian ia diam. Aku mendudukkan dia di sebelahku.
'Aip mau mamam?' tanyaku.
Ia menjawab dengan membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah makanan ringan.
'Tolong, Papa Kay,' pintanya.
Semenit kemudian ia telah menghabiskan makanan ringannya dan kembali bermain dengan ceria.
Aip adalah salah satu anak yang menghadiri sekolah yang sama dengan anakku. Ia masih berkelas di Kelompok Bermain Besar, sebuah kelas yang diperuntukkan bagi anak usia 3 - 4 tahun. Menurut penjaga sekolah, Aip biasa diantar dan dijemput oleh tetangganya, seorang pengojek, karena kedua orang tuanya harus bekerja.
'Kalau diantar ayahnya, biasanya nggak mau masup, Pak,' jelas si penjaga sekolah. 'Ayahnya juga nggak boleh ninggalin dia.'
Mungkin itu sebabnya Aip langsung mau dekat dan dibujuk olehku...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment